Pada motif batik jarik Yogyakarta, warna yang dominan adalah hitam dan putih. Bagian pinggiran jarik biasanya berwarna putih. Sedang batik atau jarik Surakarta, dominan berwarna cokelat dan kuning. Warna menjadi perbedaan antara jarik Yogyakarta dan Surakarta yang paling mendasar.
Selain warna, yang membedakan jarik Yogyakarta dan Surakarta adalah cara pemakaian. Dalam pemakaian jarik, dikenal istilah wiru atau lipatan pada bagian pinggir jarik. Pada pemakaian jarik gaya Yogyakarta, bagian ujung jarik berwarna putih harus terlihat. Sedangkan dalam jarik gaya Surakarta, bagian pinggir jarik berwarna kuning tidak boleh terlihat.
Cara membuat wiru adalah seperti melipat kertas membentuk kipas. Bagian pinggir dari jarik dilipat demikian. Semakin banyak lipatannya, semakin cantik pula sebuah jarik terlihat. Biasanya, jumlah wiru adalah ganjil yaitu 3, 5, atau 7. Untuk ukuran pun berbeda antara untuk wanita dan pria. Wiru untuk wanita berukuran 2 jari, sedangkan wiru pada jarik pria berukuran 3 jari.
Arti dan Cara Membuat Wiru pada Kain Jarik
Wiron atau wiru adalah bagian dari kain panjang yang dilipat memanjang bersusun yang akan diletakkan di bagian terluar di depan pada saat kain panjang dikenakan.
Wiru atau juga disebut dengan wiron adalah istilah untuk lipatan kain yang dibuat di salah satu ujung jarik pada saat digunakan untuk pakaian. Jumlah wiru biasanya ganjil. Wiru dibuat dengan cara melipat ujung kain seperti pembuatan kipas kertas (dilipat kecil-kecil secara vertikal). Setiap lipatan harus dibuat tegas dan kuat agar tidak lepas saat jarik digunakan.
Cara membuat wiru adalah seperti melipat kertas membentuk kipas. Bagian pinggir dari jarik dilipat demikian. Semakin banyak lipatannya, semakin cantik pula sebuah jarik terlihat. Biasanya, jumlah wiru adalah ganjil yaitu 3, 5, 7, 9, atau 11. Untuk ukuran pun berbeda antara untuk wanita dan pria. Wiru untuk wanita berukuran 2 jari, sedangkan wiru pada jarik pria berukuran 3 jari.
Setelah jumlah wiru yang diinginkan tercapai, kain harus dijepit menggunakan klip penjepit khusus agar tetap rapi ketika Anda menyimpan atau menggunakannya. Di masa lalu, hampir semua orang bisa membuat sendiri wiru pada jarik yang akan mereka gunakan. Keterampilan ini menjadi kewajiban tersendiri bagi para wanita untuk melatih kesabaran dan ketelitian.
Namun di ruang Keputren Puro Mangkunegaran Surakarta, saat ini kita masih dapat melihat satu benda dari besi sebagai alat untuk ‘menge-pres’ wiron kain jarik agar menghasilkan bentuk wiru seperti kipas.
Perbedaan Wiron Yogya dan Solo
Pada wiru Yogja, bagian garis putih di ujung jarik diperlihatkan dan kadang dilipat-lipat kecil. Sementara pada wiru Solo berlaku sebaliknya; bagian garis putih di ujung jarik disembunyikan dengan cara dilipat ke dalam.
Tentang wiru ini ada juga yang kebiasaan membuat sampai mencapai 1/3 dari panjang kain. Maksudnya supaya kalau dipakai akan terlihat bekas lipatan-lipatan wirunya. Karena sebagian wiru akan dibuka dan dililitkan ke kaki. Sehingga akan nampak indah. Wiru bisa dibedakan menjadi gaya Yogya dan Solo. Pada wiru gaya Yogya, pinggiran batik yang disebut tumpal tidak dilipat ke dalam tapi diperlihatkan atau dilipat keluar. Sedang tumpal batik pada wiru gaya Solo dilipat ke dalam dan tidak diperlihatkan. Baru sesudah itu lipatan-lipatan selanjutnya akan sama, yaitu kearah luar.
Cara Memakai Kain Jarik Wiron
Pada waktu mau memakai kain, kaki terlebih dahulu harus mengenakan sandal jinjit. Maksudnya supaya nanti ujung kain sebelah bawah jatuhnya bisa pas. Tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah. Kain wiron dipakai dengan cara melilitkannya ke kaki dari kiri ke kanan. Pada waktu mulai melilitkan kain wiron ada 2 versi dari posisi kaki. Pertama, sebelah kaki yaitu kiri atau kanan agak maju kedepan. Versi yang lain mengatakan kalau kedua kaki harus disilangkan dan merapat.
Kemudian kain dipegang dengan membentuk segitiga meruncing keatas hinggga ujung bawahnya dalam posisi yang lebih tinggi dari sisa kain yang akan diilitkan. Ujung bawah kain dijepit diantara kedua kaki. Kemudian kain baru dililitkan ke kaki. Kain diatur agar meruncing kebawah dan sebagai akibatnya akan melebar dan kendor dipinggang. Untuk itulah kain kita ikat erat-erat dengan tali dipinggang supaya nanti lama-lama tidak kedodoran.
Setelah terlebih dahulu merapikan kainnya. Ujung luar yang berwiron diatur supaya jatuh di sebelah depan agak ke kanan kira-kira sekitar dua jari dari titik pusar. Apabila masih tidak tepat, maka kain bisa digeser atau diulangi lagi dari awalnya yaitu dari ujung kain yang tidak berwiru yang dibentuk segitiga.
Hal ini dimaksudkan supaya waktu berjalan, kain wiron tidak tertarik terlalu ke belakang. Dengan demikian sewaktu berhenti dari keadaan berjalanpun kain wiron tidak akan terlalu tersingkap ke belakang atau kedodoran, tapi masih tetap rapi dengan posisi masih menutup. Wiru hanya akan terbuka waktu berjalan. Cara berjalan pada waktu memakai kain adalah melangkah dengan pendek-pendek supaya kain tidak cepat kendor atau kedodoran disamping wirunya tidak cepat rusak. Selanjutnya kain bisa ditutup dengan kemben atau korset atau long torso. Sesudah itu barulah kebaya dikenakan. Perihal wiru secara luas dapat dibaca pada buku ‘Yogya-Solo Riwayatmu Kini’ yang diterbitkan oleh PT Kamala Nusantara Hayu.***
(Tim Kamala Nusantara)