GRAY Retno Rosati

GUSTI Raden Ayu Retno Rosati Notohadiningrat  berkenan menjadi Pesanehat pada Kamala Nusantara, Perkumpulan Perempuan Bersanggul dan Berbusana Nusantara (PPBBN) untuk periode 2022-2027.

Gusti Ros, begitu biasa dipanggil, adalah salah satu putri Sri KGPAA Mangkunegara VIII – atau kakak perempuan Mangkunegara IX. Seperti suratan takdir yang tak dapat ditolak, lahir dan berada di lingkungan Kraon Mangunegaran Surakarta (Sala) membuat ‘aura’ sebagai Putri Kraton selalu terpancar kuat hingga kini. Selalu berwiraga dan berperilaku serba pantes gandesluwes – khas ‘Putri Solo’ yang selama ini digambarkan oleh khalayak.

Berbincang dengan Gusti Ros tentang budaya dan busana Jawa, menjadi sangat menarik. Dicontohkan,  Yogya dan Solo ibarat saudara kandung yang sejak dulu banyak persamaan dan memiliki perbedaan untuk menentukan identitas. Perbedaan yang juga acap menjadi ‘jebakan’ sumber konflik di masa lalu. Perbedaan yang di masa kini justru disyukuri karena menjadi sumber keragaman dan kekayaan budaya.

Gusti Rosati sebagai putri kraton asli menyatakan saat ini tak terasa lagi ada konflik perbedaan antara Yogya dan Solo. Bahkan sejak Mangkunegara VIII, sang Ibunda, GKP Agung  Sunituti,  selalu berbusana kreatif dan modis. Memberi ruang untuk berkreasi dalam berbusana. Akan tetapi, jika acara resmi apalagi internal Kraton Mangkunegaran, semua harus berbusana sesuai peraturan tatabusana yang memang sudah dibakukan oleh Puro Mangkunegaran.

“Berbusana tradisi kami lakukan penuh sukacita dan bangga, bahwa kami menjadi diri kita sendiri secara lengkap ketika mengenakan tata busana milik kami,” papar Gusti Rosati, kepada www.kamalanusantara.co.id. 

Menurut Gusti Rosati,  di dalam keluarga Mangkunegaran tidak pernah memperbincangkan soal perbedaan dengan Yogyakarta. Namun semua putra-putri Mangkunegaran memang  paham benar akan sejarah Kerajaan Mataram termasuk Perjanjian Giyanti juga hafal Raja-raja Mataram berikut silsilah. 

Ketika mempelajari hal tersebut, secara langsung maupun tidak langsung mempelajari soal tata cara, tata tradisi, tata krama, tata busana dan lain-lainnya.  “Soal perbedaan busana, saya yakini ini sekadar penanda perbedaan fisik. Akan tetapi psikis atau karakter  dan  perilaku masyarakat Solo dan Yogya, pasti sama berdasarkan entitas Jawa,” kata Gusti Rosati.

Penanda fisik  busana yang saat ini tetap mencolok, misal wiron pada sinjang saat mengenakan busana tradisional. Sama-sama menggunakan bentukan wiron yang ditempatkan pada posisi depan. Akan tetapi  gaya Solo akan melipat masuk pelisir kain jarik batik sehingga tidak ada wana berbeda pada tampilan kain batik. Hanya akan terlihat lipat-lipit wiron yang akan menjadi aksen artistik pada saat pemakai kain-kebaya berjalan/melangkah. Sementara gaya Yogya, justru mengekpose pelisir atau tepian kain jarik batik menjadi aksen penunjang keindahan wiron.

Jika dilihat secara seksama,  menurut Gusti Rosati, realitas sebenarnya adalah semua pihak ingin mempersembahkan warisan keindahan budaya untuk generasi per generasi secara seksama.

Oleh karena itulah, setiap generasi memiliki kewajiban untuk memelihara dan  melestarikan hingga akhir zaman, sebagai identitas budaya lokal. Suatu identitas yang akan menunjukkan nilai keberadaan atau eksistensi suatu masyarakat.

Gusti Rosati mengakui penduduk planet bumi ini tak dapat menghindari arus globalisasi, apalagi dengan ketergantungan pada internet yang membawa perubahan gaya hidup dan tata kehidupan. Akan tetapi, sebagai manusia yang beradab dan berkebudayaan, hendaknya kita tetap memiliki jatidiri khas. Hal itu hanya akan tercapai jika kita tetap mempertahankan identitas lokalitas – namun tetap memahami arus globalitas. Berpegangan pada identitas genius locus, kita akan menjadi bangsa yang besar di pusaran arus globalisasi.

“Salah satu cara yang praktis dan mudah adalah dengan terus mengenakan, mencintai, melestarikan budaya kita sendiri termasuk busana, peri laku dan pola pikir,” pesan Gusti Rosati.

Tanpa bermaksud menorehkan perbedaan, Gusti Rosati menceritakan sejak gadis remaja hingga saat ini,  jika di lingkungan kraton masih sangat biasa mengenakan kemben apabila mengenakan kebaya tipis. Namun apabila mengenakan kebaya brokat, harus menggunakan furing atau kain pelapis. Boleh menggunakan  kain pelapis warna senada atau warna kontras.***

(Esti Susilarti)