Busana Tradisional Untuk Memperingati Hari Kartini

Tiga saudara Kartini, Kardinah, dan Roekmini

Sesuai  ketetapan Presiden I  RI, Ir. Soekarno, melalui surat No.108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964, sosok R. A. Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Di surat yang sama, Soekarno juga menetapkan peringatan Hari Kartini sebagai hari besar nasional yang jatuh pada tanggal 21 April setiap tahunnya.

Maka, setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia merayakan Hari Kartini dengan esensi merayakan tonggak diakuinya emansipasi (persamaan) perempuan Indonesia sama dengan kaum pria dalam hal memperoleh pendidikan formal.
Perayaan Hari Kartini pun banyak memiliki ragam sudut pandang. Ada yang merayakan dengan  aneka lomba memasak, menjahit, meragkai bunga dan segala jenis yang pada masa lalu dianggap sebagai ‘kepandaian putri’. Ada yang meraayaan dengan diskusi tentang kesetaran dan eadilan gender, karena pijakan dari perjuangan emansipasi adalah harus ada kesetraaan gender baru dapat melangkah pada emansipasi.
Satu hal yang terasa khas pada perayaan Hari Kartini adalah identik  dengan busana tradisional, terutama kebaya. Ini dapat dipahami karena  RA Kartini juga selalu lekat dengan busana kebaya semasa hidupnya. Bahkan akhirnya muncul istilah kebaya Kartini, yaitu kebaya yang dikenakan RA Kartini yang memiliki ciri khas berupa kerah setali yang menghiasi leher hingga bagian bawah kebaya. Dipadan dengan kain batik tanpa wiron, untuk busana sehari-hari.

Seperti namanya, kebaya jenis ini merupakan jenis kebaya yang dulunya sering dipakai oleh Kartini dalam kesehariannya. Kebaya ini mempunyai ciri khas pada krahnya, yakni lipatan kerah yang dibuat vertikal hingga mencapai dada. Model ini dinilai bisa membuat pemakainya terlihat lebih ramping.

Kebaya selain memiliki fungsi estetis, kebaya juga memiliki fungsi sosial sebagai pembelajaran untuk wanita agar berpakaian rapi, pantas dan senantiasa menjaga kehormatannya. (Setiawan, 2009).

Pakaian Adat
Kebaya menjadi busana perempuan kawasan Melayu -  Nusantara. Kebaya lumrah  dikenakan oleh perempuan tua dan muda pada zaman RA Kartini (lahir 21 April 1879). Sehingga dapat dikatakan kebaya adalah pakaian adat yang dibuat dari kain tipis dan dipadukan dengan kain batik atau atau songket.
Jika ditengok kembali, dalam buku ‘Yogya-Solo Riwayatmu Kini’ kebaya mulai menjadi busana dikenakan perempuan abad ke-14. Kain selubung tersebut diperkenalkan sebagai penutup aurat dan disebut sebagai kebaya. Nama kebaya sendiri berasal dari bahasa Arab 'habaya' atau 'kaba' yang berarti pakaian.
Ciri khasnya adalah bukaan depan dengan potongan simetris di sisi kiri maupun kanan dan memiliki lengan. Saat ini memang banyak modifikasi yang lebih modern oleh para perancang busana. Akan tetapi pakem inilah yang sejak lama dikenal dan dipakai perempuan Indonesia.

Ada beberapa jenis kebaya, antara lain:

  1. Kebaya Jawa,
  2. Kebaya Betawi atau Encim,
  3. Kebaya Kutubaru,
  4. Kebaya Sunda,
  5. Kebaya Madura,
  6. Kebaya Bali,
  7. Kebaya Kartini,
  8. Kebaya Melayu.

Akulturasi Budaya
Hal tersebut dibenarkan oleh Grace. W Susanto dalam buku Mlaku Thimik-Thimik – bahwa akulturasi budaya dalam kebaya ada pengaruh budaya luar yang mempengaruhi perkembangan dan jenis dari kebaya. Masing-masing kebaya memiliki ciri khas masing-masing. Kebaya Jawa misalnya, memiliki ciri khas yang terletak pada tembelan kain di bagian dada yang disebut kutu baru.

Menurut Grace,  kutu baru adalah perkembangan dari kemben. Sedangkan kebaya Betawi adalah akulturasi budaya Cina dan Melayu yang membuat kebaya ini memiliki desain sangat bervariasi. Kebaya Sunda dan Tasik memiliki ciri khas garis leher berbentuk segi lima dengan kerah tegak, sedangkan kebaya Bali memiliki ciri berlengan pendek dan panjang yang dilengkapi dengan sebuah selendang.

Kebaya Madura sendiri sering disebut kebaya rancongan. Panjang kebaya hanya sampai pinggang dengan bagian bawah meruncing dengan potongan serong yang khas. Adapun kebaya Melayu, rata-rata berdesain kain panjang. Bentuk garisnya hampir mirip dengan kebaya Jawa, hanya saja di belahan tengah diberi peniti atau bros sebagai hiasan.
Tradisional Nonkebaya

Apakah salah meratakan Hari Kartini mengenakan busana tradisional nonkebaya? Tentu saja jawabnya :  sama sekali tidak salah!
Dalam buku ‘Sarinah’ karya Soekarno ditegaskan mengenakan pakaian adat  -- terutama pada saat peringatan Hari Kartini --  merupakan penguat karakter cinta tanah air. Bahkan sangat dianjurkan semakin banyak/sering bangsa Indonesia mengenakan busana tradisional masing-masing suku, agar kita menjadi bangsa yang tidak tercerabut dari akar budaya.

Dalam kenyataannya, sejak Ir Joko Widodo menjadi Presiden Ke-7 Republik Indonesia selalu mengenakan busana tradisional dari pelbagai suku bangsa pada perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus. Suatu kebiajakan yang sangat layak diteruskan dan dikembangkan.***

(Penulis: Nishaka. Editor: Kamala Nusantara).